Jumat, 22 Maret 2013

RELIGIULITAS DALAM NOVEL DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH Karya: HAMKA



Secara Etimologis kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yang dibentuk dari kata “sas” yang berarti mengarahkan, mengajar dan memberi petunjuk. Akhiran “–tra” yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk. Secara harfiah, kata “sastra” berarti huruf, tulisan atau karangan. Kata sastra ini kemudian diberi imbuhan “su” (dari bahasa Jawa) yang berarti baik atau indah, yakni baik isinya dan indah bahasanya. Selanjutnya, kata susastra diberi imbuhan gabungan “ke-an” sehingga menjadi “Kesusastraan” yang berarti nilai, hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya.
Ramadansyah (2010: 6), mengungkapkan bahwa sastra merupakan hasil cipta seni yang memediakan bahasa, yang unsur keindahannya (estetik) lebih dominan, dan bermanfaat bagi manusia. Sastra yang baik, merupakan suatu hasil yang berguna bagi kehidupan. Upaya pembaca dalam memahami sastra dimaksudkan mengangkat harkat dan martabat manusia kemahligai kehidupan yang tinggi. Menurut Semi (1988 : 8), sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Senada dengan itu, Mursal Esten (1978 : 9), mengungkapkan bahwa sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil cipta seni,  mengandung unsur estetik yang menjadika bahasa sebagai mediumnya serta bernilai tinggi yang berguna bagi kehidupan manusia.
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada didalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup disuatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Karya sastra terbagi atas tiga, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah karya sastra fiksi yang memuat keindahan dalam kata-kata, dan terkait dengan adanya irama, imajinasi, persajakan, dan bait yang bermakna. Atmazaki (2007: 42-43), menjelaskan bahwa ciri sebuah  puisi adalah bahasanya yang tersusun dalam baris dan bait dan cenderung pada bahasa kiasan, kata-katanya terkait pada struktur ritmik dari pada unsur sintaksis sebuah kalimat, bukan merupakan suatu deretan peristiwa, tidak bercerita, dan tentunya tidak memiliki plot, namun berupa monolog.
Prosa adalah salah satu genre sastra yang diciptakan dengan mengandalkan pemaparan tentang seseorang atau suatu peristiwa. Sebuah pemaparan dikatakan karya sastra prosa jika memenuhi beberapa syarat. Pertama, didalamnya terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk wacana. Kedua, peristiwa menghendaki adanya tokoh, semakin banyak berindak semakin banyak peristiwa. Semakin banyak peristiwa semakin panjang prosa itu. Ketiga, deretan peristiwa dan tokoh itu adalah peristwa dan tokoh fiktif. (Atmazaki, 2007: 38).
Drama adalah genre sastra yang melukiskan kehidupan dan watak manusia melalui gerak dan dialog di atas pentas (Ramadansyah, 2010: 150). Teks drama ini terdiri dari dialog antar tokoh. Dalam karya sastra berbentuk prosa juga terdapat dialog, namun tidak bisa dikatakan sebagai drama, karena dialog itu terdapat dalam narasi. Selain itu, drama diciptakan pertama-tama bukan untuk dinikmati melalui pembacaan malainkan untuk pementasan. Jadi, pemahaman drama dapat terjadi ketika seorang menonton pementasannya. Penonton menyaksikan sebuah kejadian dari sebuah pristiwa.
Secara umum, prosa terdiri atas novel dan cerita pendek (cerpen). Kata “novel” yang digunakan dalam bahasa Inggris diambil dari bahasa Italia “novella” artinya sesuatu yang baru dan kecil. Novel merupakan karya sastra prosa yang berupa cerita rekaan yang menampilkan tokoh dalam rangkaian peristiwa dan latar secara sistematis dengan berbagai suka dan dukanya. Cerpen merupakan cerita rekaan yang mengungkapkan unsur-unsur karya sastra lebih padat, ringkas, dan langsung menghadirkan konflik pada tokohnya. Disini akan dibahas lebih dalam lagi tentang novel, karena penulis akan mengkritik novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Haji Abdullah Muhammad Karim Amrullah (HAMKA). Novel ini diterbitkan tahun1938 oleh Balai Pustaka.
Novel merupakan fiksi naratif modern yang berkembang pada pertengahan abad ke-18. Novel berbentuk prosa lebih panjang dan kompleks dari pada cerpen, yang mengekspresikan sesuatu tentang kualitas atau nilai pengalaman manusia. Persoalan yang terdapat di dalam novel diambil dari pola-pola kehidupan yang dikenal oleh manusia. Menurut Ramadansyah (2010: 108), ciri-ciri sebuah novel adalah: (1) alur ceritanya lengkap dan jelas; (2) watak pelakunya digambarkan secara jelas; (3) dalam mengulas tema lebih mendalam; (4) merangkum berbagai masalah dalam kehidupan; (5) para pelakunya senatiasa dihadapkan pada berbagai konflik atau pertikaian masalah; (6) berisi nilai-nilai kemanusiaan.
Struktur sebuah novel ada dua, yaitu unsur intrinsik (unsur yang membangun dari dalam) dan unsur ekstrinsik (unsur yang membangun dari luar). Menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992: 20), unsur intrinsik dapat dibedakan atas dua macam, yakni unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama adalah semua yang berkaitan dengan pemberian makna yang tertuang melalui bahasa, yang terdiri dari tema dan amanat, alur, latar, dan penokohan. Unsur penunjang adalah segala upaya yang digunakan dalam memanfaatkan bahasa, diantaranya gaya bahasa dan sudut pandang. Unsur ekstrinsik juga terbagi dua, yaitu unsur utama dan unsur penunjang. Unsur yang utama adalah pengarang, seperti sensitivitas, imajinasi, intelektualitas, dan pandangan hidup. Sedangkan unsur penunjangnya adalah pengaruh lain yang masuk melalui pengarang (realitas objektif), seperti norma-norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya, dan konvensi sastra.
Namun, ada juga ahli yang berpendapat bahwa yang termasuk unsur intrinsik adalah tema, alur, latar, penokohan, gaya bahasa, dan sudut pandang. Sedangkan yang termasuk unsur ekstrinsik adalah amanat, nilai-nilai atau norma-norma agama, kebudayaan, politik, ideologi, dan sebagainya. Amanat termasuk unsur ekstrinsik karena dirumuskan oleh pembaca sendiri setelah membaca isi dari sebuah novel, sehingga amanat ini tidak secara langsung ada di dalam karya sastra tersebut (tersirat).
Alur atau plot adalah urutan peristiwa atau kejadian yang saling berhubugan secara sebab akibat. Berdasarkan urutan peristiwa kejadian, alur dibagi tiga, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur gabungan. Alur maju (progresif, klimaks, kronologis) merupakan alur cerita yang dituntut dari peristiwa yang terjadi saat ini, berturut-turut hingga peristiwa akhir. Alur mundur (flash back, regresif) merupakan alur cerita yang dimulai dari akhir peristiwa, lalu sedikit demi sedikit menoleh keperistiwa yang mendahuluinya. Alur gabungan (alur maju-mundur) cenderung dalam bentuk cerita secara sebab-akibat.
Alur pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah alur flas back, karena cerita diawali dengan tokoh “Aku” bercerita tentang sahabatnya yang Ia kagumi, yaitu Hamid. Kehidupannya sederhana, rajin beribadat, suka membaca buku-buku tentang agama terutama tentang ahli-ahli tasawuf. Namun setelah Hamid bertemu dengan sahabatnya bernama Saleh, keadaan dan sifatnya berubah. Dia lebih sering termenung sendiri. Pada suatu malam “Aku” menanyakan perihal sahabatnya itu, dan kemudian dia pun mulai bercerita tentang masa lalunya. Dari sinilah cerita novel ini dimulai yaitu kisah tentang masa lalu sahabat “Aku”. Sehingga cerita kembali pada masa sebelumnya. Disini pembaca dibawa untuk mengenang masa lalu Hamid.
Penokohan adalah hal yang berhubungan dengan masalah penamaan, pemeranan, keadaan pisik, keadaan psikis, dan karakter tokoh dalam cerita. Tokoh adalah semua orang yang terlibat di dalam cerita. Tokoh dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: (1) tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya di dalam sebuah cerita. (2) tokoh tambahan, yaitu tokoh yang ditampilkan lebih sedikit, tidak dipentingkan, kehadirannya akan ada apabila berhubungan dengan tokoh utama. (3) tokoh antagonis, yaitu tokoh yang berwatak “jahat”. (4) tokoh protagonis, yaitu tokoh yang berwatak “baik”.
Pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, awal cerita disampaikan oleh tokoh “Aku”. Tokoh “Aku” disini hanya sebagai tokoh sampingan yang bercerita dengan tokoh utama tentang peristiwa atau pengalaman tokoh utama. Tokoh utama pada novel ini adalah Hamid. Hamid berwatak protagonis dan sangat berpengaruh pada penceritaan. Hamid tinggal bersama ibunya semenjak ayahnya meninggal. Ibu Hamid berperan sebagai tokoh sampingan yang berwatak protagonis. Dalam novel ini diceritakan bahwa Hamid mencintai seorang perempuan yang sudah dianggap seperti adaiknya sendiri, yaitu Zainab yang berwatak protagonis. Zainab adalah anak dari Engku Haji Ja’far dan Mak Asiah. Kedua suami istri ini sebagai tokoh sampingan yang berwatak protagonis............. Pada saat Hamid berada di Mekah dia bertemu kembali dengan sahabat lamanya, Saleh. Saleh sebagai tokoh sampingan, yang berwatak protagonis. “Saleh adalah seorang teman saya semasa kami masih sama-sama bersekolah di Padang Panjang” (Hamka, 1989:48). Ternyata Saleh telah menikah dengan sahabat Zainab, yaitu Rosna. Disini Rosna sebagai tokoh sampingan yang berwatak protagonis.“ingatkah engkau akan Rosna, sahabat karib Zainab?” (Hamka, 1989:49).
Latar atau setting adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana dalam suatu cerita. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tempat adalah latar yang mengacu pada “lokasi” terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar tempat pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, yaitu di Mekah  “Sekarang sudah Tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Ka’bah yang suci.” (Hamka, 1989:46). Di atas sutuh “Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinya di atas sutuh, diatas sebuah bangku yang berhamparkan daun kurma yang berjalin...” (Hamka, 1989:9). Di Pekarangan sekolah, “Setelah guru membagikan diploma kami masing-masing, dengan bersorak kami meninggalkan pekarangan sekolah” (Hamka, 1989:22). Padang Panjang “Saya tidak berapa bulan setelah tamat sekolah, berangkat ke Padang Panjang, mlanjutkan cita-cita ibu saya karena kedermawanan Engku Haji Ja’far juga.” (Hamka, 1989:23). Rumah Hamid, yaitu ketika perbincangan Hamid dan ibunya, saat ibunya sakit sakit. “Kerap kali Zainab dan ibunya datang melihat ibuku dan duduk di dekat kalang hulunya, sedang saya duduk menjaga dengan diam dan sabar” (Hamka, 1989.......). Di pesisir Arau “... diwaktu saya sedang berjalan-jalan seorang diri di pesisir Arau yang indah itu, melihat perahu tumpangan datang dari seberang, diatasnya duduk tiga orang yang perempuan yang berundung-undung kain bugis halus”. (Hamka, 1989:35). Di rumah Zainab, “Saya datang ke rumah itu, rumah tempat saya bersunda gurau dengan Zainab di waktu kecil” (Hamka, 1989:36).
Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan “kapan” terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan. Latar waktu pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah pada saat malam hari, siang, sore, dan sebagainya. Latar suasana adalah latar yang mengacu pada keadaan di suatu peristiwa atau lingkungan. Suasana pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah bahagia, sedih, sepi, ramai, dan sebagainya.
Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi atau penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat di dalam ceritanya. Sudut pandang terbagi dua, yaitu (1) sudut pandang persona ketiga “Dia”. Sudut pandang ini juga terbagi dua. Pertama, sudut pandang  “Dia” mana tahu, maksudnya narator bebas menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita. Kedua, “Dia” terbatas, hanya terbatas pada seorang tokoh saja. (2) sudut pandang persona pertama “Aku”. Sudut pandang ini juga terbagi dua, yaitu “Aku” sebagai tokoh utama dan “Aku” sebagai tambahan, yaitu hanya sebagai pengantar dan penutup cerita saja.
Sudut pandang novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah sudut pandang persona pertama, yaitu “Aku” sebagai tokoh tambahan yang hanya sebagai pengantar dan penutup cerita saja. Pada novel tersebut, tokoh “Aku” bercerita tentang sahabatnya yang ia kagumi, yaitu Hamid. Namun setelah Hamid bertemu dengan sahabatnya bernama Saleh, keadaan dan sifatnya berubah. Dia lebih sering termenung sendiri. Pada suatu ketika “Aku” menanyakan perihal sahabatnya itu, dan kemudian dia pun mulai bercerita tentang masa lalunya. Kemuadian diakhir cerita tokoh “Aku” kembali muncul, sebagai penutup cerita yaitu pada saat Hamid telah mengetahui perasaan Zainab, hingga akhirnya ia meninggal di depan Ka’bah setelah mengetahui Zainab telah mendahuluinya.
Gaya bahasa atau majas adalah bahasa berkias yang dapat menghidupkan, meningkatkan efek tertentu dan kadang menimbulkan konotasi tertentu. Pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah gaya bahasa yang dominan dipakai adalah metafora, hiperbola, dan personifikasi. Metafora, yaitu perbandingan suatu benda dengan benda lain karena memiliki sifat yang sama. Pada novel terdapat pada halaman 23 “Yang berasa sedih amat, adalah anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan, tamat sekolah bagi mereka artinya satu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang”. “Merapi dengan kepundannya yang laksana disepuhi emas, panas petang yang menyinari puncak Tandikat”. Pada halaman 31 “Emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang”. Pada halaman 26 “Karena dia langit dan saya ini bumi”. Halaman 33 “Air mata anakanda yang selama ini telah banyak tercurah, tidak bagai air yang tenggelam di pasir”. Halaman 56 “Ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci”. Halaman 58 “Saya hidup laksana seorang buangan yang tersisih pada suatu padang belantara yang jauh, laksana seorang bersalah besar dibuang kepulau, ditimpa haus dan dahaga” (Hamka:1989).
Hiperbola, yaitu majas yang berisi pernyataan yang belebih-lebihan atau membesar-besarkan. Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah terdapat pada halaman 41 “Karam rasanya bumi ini saya pijakkan, gelap tujuan yang akan saya tempuh”. Pada halaman 18 “Mendengar perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita”. Halaman 38 “Darahku berdebar, detik-detik jantungku berhenti.” Halaman 42 “Diperjalanan pulang saya rasakan badan saya sebagai bayang-bayang, tanah serasa bergoyang saya pijakkan.” (Hamka:1989).
Personifikasi, yaitu menggambarkan sifat benda yang tak bernyawa seolah-olah sama dengan manusia, berbuat seperti manusia. Dalam novel terdapat pada halaman 23 “Waktu matahari akan pulang ke barat dan mempertaruhkan jabatan memberi cahaya kepada bulan”. Halaman 36 “Rumah itu seakan-akan kehilangan semangat, dan memang kehilangan semangat,” Halaman 63 “Hanya kepada bulan purnama di malam hari adinda bisikkan dan pesankan kerinduan adinda hendak bertemu. (Hamka, 1989: 23, 36, 63).
Tema berarti pikiran sentral, inti pembahasan, gagasan pokok, ide utama, pengalaman batin yang diekspresikan ke dalam karya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Tema novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah kisah cinta seorang pemuda yang tak tersampaikan karena tehalang oleh status sosial.
Amanat adalah pesan, kesan, arahan, dan maksud yang hendak disampaikan dari isi karya sastra dengan tujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.  Amanat pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yaitu mengajarkan kita untuk selalu bersabar, bertawakal dan berserah diri pada Allah SWT. Jangan mudah berputus asa, berusahalah mengungkapkan perasaan sendiri agar kelak tidak mengalami penyesalan. Saling membatu dengan sesama, terutama kepada fakir miskin.
Unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah diantaranya: Pertama, unsur agama (religius) yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Esa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama yang dimaksud disini adalah agama Islam. Dalam novel ini secara jelas diceritakan tentang tokohnya yang beragama Islam. Dari judulnya saja “Di Bawah Lindungan Ka’bah” kita sudah tahu bahwa novel ini mengandung unsur agama Islam, karena Ka’bah adalah tempat kiblat umat Islam sedunia dan tempat melakukan ibadah haji ataupun umrah. Tujuan tokoh ke Mekah merupakan penyempurnaan dari rukun Islam yang ke 5. Pada saat tokoh mengalami kesulitan, dalam keadaan sedih, bahagia, dia selalu berserah diri dan ingat pada Allah SWT. Sampai pada akhirnya dia meniggal dengan menyebut nama Allah. Selain itu latar pada novel juga menunjukkan tempat-tempat umat islam, seperti di Mekah, Masjidil Haram, Mina, Padang Arafah, dan sebagainya. Nama para tokoh dalam novel ini juga mencirikan orang Islam, seperti Saleh, Hamid, dan Haji Ja’far.
Kedua, budaya yaitu hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, yang telah menjadi pedoman tingkah lakunya. Unsur budaya pada novel ini yaitu budaya Minang. Pada novel ini diceritakan bahwa setelah tamat sekolah anak perempuan di Minang akan masuk pingitan. Hal ini merupakan adat istiadat yang berlaku di Minang. Anak perempuan dilarang keluar, karena perempuan adalah Limpapeh rumah nan gadang. “...sebagai kau tahu, kita pun tamat dari sekolah, maka adat istiadat telah mendidingi pertemuan kita dengan laki-laki yang bukan mahram, bukan saudara atau famili karib, waktu itulah saya merasai kesepian yang sangat” (Hamka, 1989:35). Dalam novel ini juga diceritakan bahwa Zainab disuruh menikah dengan kemenakan ayahnya. Pada zaman dulu, di Minang Kabau berlaku sistem perjodohan. Jodoh tidak dapat ditentukan sendiri.
Ketiga, sosial yaitu berkenaan dengan masyarakat. Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah hal utama penyebab muncul permasalahan adalah karena perbedaan status sosial. Di dalam novel ini diceritakan bahwa orang masih memandang perbedaan status sosial. Hamid dari orang yang tidak berada, mencintai Zainab, anak saudagar kaya. Perbedaan tesebut membuat Hamid memendam perasaannya. Dia takut cintanya takkan tebalas, karena menurutnya dia hanyalah loyang sedangkan Zainab emas. Dia bumi sedangkan Zainab langit (Hamka, 1989:31). Seperti itulah perbedaan status sosial mereka.
Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah merupakan karya sastra klasik yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan HAMKA. Novel ini diterbitkan tahun 1938 oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia-Belanda. Novel ini disambut baik dari berbagai kalangan, bahkan hingga saat ini telah diadaptasikan menjadi film. Novel ini menceritakan tentang kisah percintaan antara Hamid dan Zainab, yang sama-sama jatuh cinta tetapi terpisah karena latar belakang sosial yang berbeda. Hamid tidak berani mengungkapkan perasaannya lantaran dia takut cintanya takkan terbalas karena dia hanyalah seorang yang tidak berada. Disamping itu, Zainab pun dihadapkan oleh permintaan ibunya agar menikah dengan laki-laki yang telah dipilihkan. Kekecewaan Hamid dalam menghadapi permasalahannya yang merasa cintanya tak akan mungkin tebalas membuat dia mengambil kebijakan untuk pergi jauh meninggalkan Padang. Hamid pun pergi ke Mekah, berlindung di bawah Ka’bah.
Setelah setahun berada di Mekah, Hamid yang mulai menderita penyakit bertemu dengan Saleh. Istri Saleh, Rosna adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar kabar tentang Zainab, termasuk kenyataan bahwa Zainab mencintai dirinya dan Zainab tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Namun pada saat menjalani ibadah haji, Hamid meninggal di depan Kak’bah, setelah mengetahui Zainab meninggal.
Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang sederhana. Gaya penceritaannya bersifat didaktis, yang bertujuan untuk mendidik pembaca berdasarkan sudut pandang penulis. Dari segi isinya, novel ini ditulis dengan menarik. Dalam novel ini Hamka lebih mengedepankan ajaran tentang dasar-dasar Islam dibanding menyinggung tema kemodernan. Agama Islam tidak memandang perbedaan, tetapi disini Hamka memunculkan adanya perbedaan status sosial, yang tentunya bertentagan dengan agama Islam. Namun, disinilah titik puncak permasalahannya. Pendapat yang bertentangan dengan Islam inilah yang membuat isi novel ini menarik. Secara tidak langsung dalam novel ini Hamka berusaha mengungkapkan bahwa kita sebagai manusia tidak boleh memandang perbedaan. Kisah cerita yang sedih-sedih dan penuh pengharapan ini kemudian disandarkan pada agama, yaitu agama Islam. Memang demikianlah umat muslim sebenarnya. Harus selalu bertawakal dan berserah diri pada Allah SWT. Perilaku demikian ditunjukkan oleh tokoh utama, yaitu Hamid. Setiap ujian dan cobaan yang datang selalu dia hadapi dengan sabar. Hal ini dapat mengajarkan umat muslim agar selalu bertawakal kepada-Nya.
Diawal cerita, saat Hamid masih berumur 4 tahun dia telah membantu pekerjaan ibunya, termasuk berjualan kue. Dalam menjalankan pekerjaan itulah dalam hati Hamid selalu memohon belas kasihan dan berdo’a pada Allah. “ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a dan bacaan, yang menjadi wirid dari almarhum Ayah semasa mendiang hidup, mengharapkan pengharapan yang besar-besar kepada Tuhan serwa sekalian alam memohon belas kasihannya.” (Hamka, 1989:13). Hal ini mengajarkan kita agar selalu berusaha, tidak mudah menyerah pada keadaan.
Kemudian Hamid bertemu dengan Haji Ja’far, seorang dermawan kaya yang sudi membiayai sekolahnya sampai keperguruan tinggi agama di Padang Panjang. Haji Ja’far bahkan sudah menganggap Hamid seperti anaknya sendiri. Disini juga terkandung nilai agama yaitu dalam kehidupan kita harus saling membantu, terutama membantu orang yang tidak mampu (fakir miskin).  Sampai pada saat kepulangannya dari Padang Panjang, Ia dihadapkan dengan berbagai musibah dan masalah. Mulai dari meninggalnya Haji Ja’far yang disusul oleh ibunya, dan kemudian perasaan cintanya yang dirasa tak mungkin terbalas lantaran perbedaan status sosial. Disamping itu, Zainab juga akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ibunya. Saat itu Hamid berusaha tabah dan sabar menghadapi segala cobaan. Dia pun mengambil kebijakan agar dapat melupakan segala masalahnya itu. Dia meninggalkan Padang dan tinggal di Mekah. Di Mekah dia selalu beribadah, mendekatkan diri pada Allah. Hal ini mengajarkan kita, agar selalu tabah dan sabar dalam menghadapi cobaan hidup, serta senantiasa mendekatkan diri pada Allah.
Pada saat datang ke rumah Mak Adiah, Hamid disuruh membujuk Zainab agar Zainab mau dikawinkan dengan kemenakan ayahnya, namun Hamid tak berhasil membujuknya. Kejadian itu membuat Hamid merasa kecewa dan menginsafi dirinya sendiri, bahwa di dunia mesti ada sebagian orang yang bahagia, sebagian lagi ada orang yang menanggung kesediahan. Di sini Hamka memaparkan cerita yang sesuai dengan kodrat kekuasaan Tuhan, bahwa di dunia ini adalah tempat manusia menghadapi cobaan, baik dalam hidup bahagia maupun dalam hidup susah semuanya itu adalah ujian dari Allah.
Tokoh Hamid yang hidupnya selalu menderita karena dia bukan orang yang berada, serta penderitaan batinnya karena penyakit cinta yang dia alami membuatnya hampir berputus asa. Namun, dia selalu berpikir positif berusaha bersabar dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Penderitaan tokoh “Hamid” yang selalu dihadapi dengan ketabahan tersebut, dapat memberi pelajaran yang penting bagi pembaca. Novel ini banyak mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat positif. Pembaca dapat terdorong untuk selalu bertawakal, dalam susah maupun senang. Selain itu novel ini juga bisa dijadikan sebagai renungan bagi pembaca, terutama bagi remaja yang tentunya juga akan merasakan perasaan suka terhadap lawan jenis. Setidaknya jika pembaca mengalami masalah yang sama seperti diceritakan di novel, mereka sudah tahu bagaimana memilih jalan hidup yang baik bila suatu saat mereka menemui masalah semacam itu.
Namun, pengarang dalam menceritakan tokohnya kurang menampakkan bentuk pisiknya. Penampilan bentuk pisik hanya terbatas pada tokoh utama “Hamid”. Pengarang menceritakan tokoh Hamid sebagai seorang pendiam, yang suka bermenung seorang diri, badannya kurus lampai, rambutnya hitam berminyak. Hal tersebut sesuai dengan kondisi tokoh utama dalam cerita, sebagai seorang yang hidupnya kurang beruntung, dan mengalami gagal dalam memenuhi cintanya. Tokoh-tokoh lainnya, seperti Zainab tidak digambarkan secara jelas, sehingga pembaca tidak bisa membayangkan seperti apa kecantikannya. Selain itu, bahasa pada novel ini masih menggunakan bahasa Melayu yang sulit untuk dipahami.













DAFTAR PUSTAKA

Atmazaki. 2007. Sastra Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Hamka. 1989. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Bandung: Bulan Bintang.
Muhardi dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Ramadansyah. 2010. Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Padang: Angkasa Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar