Secara
Etimologis kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta, yang dibentuk dari kata “sas”
yang berarti mengarahkan, mengajar dan memberi petunjuk. Akhiran “–tra” yang
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk. Secara harfiah, kata “sastra”
berarti huruf, tulisan atau karangan. Kata sastra ini kemudian diberi imbuhan “su”
(dari bahasa Jawa) yang berarti baik atau indah, yakni baik isinya dan indah
bahasanya. Selanjutnya, kata susastra
diberi imbuhan gabungan “ke-an” sehingga menjadi “Kesusastraan” yang berarti
nilai, hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya.
Ramadansyah
(2010: 6), mengungkapkan bahwa sastra merupakan hasil cipta seni yang memediakan
bahasa, yang unsur keindahannya (estetik) lebih dominan, dan bermanfaat bagi
manusia. Sastra yang baik, merupakan suatu hasil yang berguna bagi kehidupan.
Upaya pembaca dalam memahami sastra dimaksudkan mengangkat harkat dan martabat
manusia kemahligai kehidupan yang tinggi. Menurut Semi (1988 : 8), sastra adalah
suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan
kehidupannya menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Senada dengan itu, Mursal Esten (1978 : 9),
mengungkapkan bahwa sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta
artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat)
melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan
manusia (kemanusiaan). Jadi, dapat disimpulkan bahwa karya sastra adalah hasil
cipta seni, mengandung unsur estetik
yang menjadika bahasa sebagai mediumnya serta bernilai tinggi yang berguna bagi
kehidupan manusia.
Sastra
merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang
mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada didalamnya.
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi
pengaruh terhadap masyarakat, bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai
karya sastra yang hidup disuatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah
anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat
mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan
sekaligus membentuknya.
Karya
sastra terbagi atas tiga, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah karya
sastra fiksi yang memuat keindahan dalam kata-kata, dan terkait dengan adanya
irama, imajinasi, persajakan, dan bait yang bermakna. Atmazaki (2007: 42-43),
menjelaskan bahwa ciri sebuah puisi adalah
bahasanya yang tersusun dalam baris dan bait dan cenderung pada bahasa kiasan,
kata-katanya terkait pada struktur ritmik dari pada unsur sintaksis sebuah
kalimat, bukan merupakan suatu deretan peristiwa, tidak bercerita, dan tentunya
tidak memiliki plot, namun berupa monolog.
Prosa
adalah salah satu genre sastra yang diciptakan dengan mengandalkan pemaparan
tentang seseorang atau suatu peristiwa. Sebuah pemaparan dikatakan karya sastra
prosa jika memenuhi beberapa syarat. Pertama,
didalamnya terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat
yang membentuk wacana. Kedua, peristiwa
menghendaki adanya tokoh, semakin banyak berindak semakin banyak peristiwa.
Semakin banyak peristiwa semakin panjang prosa itu. Ketiga, deretan peristiwa dan tokoh itu adalah peristwa dan tokoh
fiktif. (Atmazaki, 2007: 38).
Drama
adalah genre sastra yang melukiskan kehidupan dan watak manusia melalui gerak
dan dialog di atas pentas (Ramadansyah, 2010: 150). Teks drama ini terdiri dari
dialog antar tokoh. Dalam karya sastra berbentuk prosa juga terdapat dialog,
namun tidak bisa dikatakan sebagai drama, karena dialog itu terdapat dalam
narasi. Selain itu, drama diciptakan pertama-tama bukan untuk dinikmati melalui
pembacaan malainkan untuk pementasan. Jadi, pemahaman drama dapat terjadi
ketika seorang menonton pementasannya. Penonton menyaksikan sebuah kejadian
dari sebuah pristiwa.
Secara
umum, prosa terdiri atas novel dan cerita pendek (cerpen). Kata “novel” yang
digunakan dalam bahasa Inggris diambil dari bahasa Italia “novella” artinya
sesuatu yang baru dan kecil. Novel merupakan karya sastra prosa yang berupa
cerita rekaan yang menampilkan tokoh dalam rangkaian peristiwa dan latar secara
sistematis dengan berbagai suka dan dukanya. Cerpen merupakan cerita rekaan
yang mengungkapkan unsur-unsur karya sastra lebih padat, ringkas, dan langsung
menghadirkan konflik pada tokohnya. Disini akan dibahas lebih dalam lagi
tentang novel, karena penulis akan mengkritik novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Haji Abdullah Muhammad Karim Amrullah
(HAMKA). Novel ini diterbitkan tahun1938 oleh Balai Pustaka.
Novel
merupakan fiksi naratif modern yang berkembang pada pertengahan abad ke-18.
Novel berbentuk prosa lebih panjang dan kompleks dari pada cerpen, yang
mengekspresikan sesuatu tentang kualitas atau nilai pengalaman manusia.
Persoalan yang terdapat di dalam novel diambil dari pola-pola kehidupan yang
dikenal oleh manusia. Menurut Ramadansyah (2010: 108), ciri-ciri sebuah novel
adalah: (1) alur ceritanya lengkap dan jelas; (2) watak pelakunya digambarkan
secara jelas; (3) dalam mengulas tema lebih mendalam; (4) merangkum berbagai
masalah dalam kehidupan; (5) para pelakunya senatiasa dihadapkan pada berbagai
konflik atau pertikaian masalah; (6) berisi nilai-nilai kemanusiaan.
Struktur
sebuah novel ada dua, yaitu unsur intrinsik (unsur yang membangun dari dalam)
dan unsur ekstrinsik (unsur yang membangun dari luar). Menurut Muhardi dan
Hasanuddin (1992: 20), unsur intrinsik dapat dibedakan atas dua macam, yakni
unsur utama dan unsur penunjang. Unsur utama adalah semua yang berkaitan dengan
pemberian makna yang tertuang melalui bahasa, yang terdiri dari tema dan
amanat, alur, latar, dan penokohan. Unsur penunjang adalah segala upaya yang
digunakan dalam memanfaatkan bahasa, diantaranya gaya bahasa dan sudut pandang.
Unsur ekstrinsik juga terbagi dua, yaitu unsur utama dan unsur penunjang. Unsur
yang utama adalah pengarang, seperti sensitivitas, imajinasi, intelektualitas,
dan pandangan hidup. Sedangkan unsur penunjangnya adalah pengaruh lain yang
masuk melalui pengarang (realitas objektif), seperti norma-norma, ideologi,
tatanilai, konvensi budaya, dan konvensi sastra.
Namun,
ada juga ahli yang berpendapat bahwa yang termasuk unsur intrinsik adalah tema,
alur, latar, penokohan, gaya bahasa, dan sudut pandang. Sedangkan yang termasuk
unsur ekstrinsik adalah amanat, nilai-nilai atau norma-norma agama, kebudayaan,
politik, ideologi, dan sebagainya. Amanat termasuk unsur ekstrinsik karena
dirumuskan oleh pembaca sendiri setelah membaca isi dari sebuah novel, sehingga
amanat ini tidak secara langsung ada di dalam karya sastra tersebut (tersirat).
Alur atau plot adalah urutan peristiwa atau kejadian yang saling
berhubugan secara sebab akibat. Berdasarkan urutan peristiwa kejadian, alur
dibagi tiga, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur gabungan. Alur maju (progresif,
klimaks, kronologis) merupakan alur cerita yang dituntut dari peristiwa yang
terjadi saat ini, berturut-turut hingga peristiwa akhir. Alur mundur (flash back, regresif) merupakan alur
cerita yang dimulai dari akhir peristiwa, lalu sedikit demi sedikit menoleh
keperistiwa yang mendahuluinya. Alur gabungan (alur maju-mundur) cenderung
dalam bentuk cerita secara sebab-akibat.
Alur pada novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah alur flas
back, karena cerita diawali dengan tokoh “Aku” bercerita tentang sahabatnya
yang Ia kagumi, yaitu Hamid. Kehidupannya sederhana, rajin beribadat, suka
membaca buku-buku tentang agama terutama tentang ahli-ahli tasawuf. Namun
setelah Hamid bertemu dengan sahabatnya bernama Saleh, keadaan dan sifatnya
berubah. Dia lebih sering termenung sendiri. Pada suatu malam “Aku” menanyakan
perihal sahabatnya itu, dan kemudian dia pun mulai bercerita tentang masa
lalunya. Dari sinilah cerita novel ini dimulai yaitu kisah tentang masa lalu
sahabat “Aku”. Sehingga cerita kembali pada masa sebelumnya. Disini pembaca dibawa
untuk mengenang masa lalu Hamid.
Penokohan adalah hal yang berhubungan dengan masalah penamaan,
pemeranan, keadaan pisik, keadaan psikis, dan karakter tokoh dalam cerita. Tokoh
adalah semua orang yang terlibat di dalam cerita. Tokoh dapat dibedakan menjadi
empat jenis, yaitu: (1) tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya
di dalam sebuah cerita. (2) tokoh tambahan, yaitu tokoh yang ditampilkan lebih
sedikit, tidak dipentingkan, kehadirannya akan ada apabila berhubungan dengan
tokoh utama. (3) tokoh antagonis, yaitu tokoh yang berwatak “jahat”. (4) tokoh
protagonis, yaitu tokoh yang berwatak “baik”.
Pada novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah, awal cerita disampaikan oleh tokoh “Aku”. Tokoh “Aku”
disini hanya sebagai tokoh sampingan yang bercerita dengan tokoh utama tentang
peristiwa atau pengalaman tokoh utama. Tokoh utama pada novel ini adalah Hamid. Hamid berwatak
protagonis dan sangat berpengaruh pada penceritaan. Hamid tinggal bersama
ibunya semenjak ayahnya meninggal. Ibu Hamid berperan sebagai tokoh sampingan
yang berwatak protagonis. Dalam novel ini diceritakan bahwa Hamid mencintai
seorang perempuan yang sudah dianggap seperti adaiknya sendiri, yaitu Zainab
yang berwatak protagonis. Zainab adalah anak dari Engku Haji Ja’far dan Mak
Asiah. Kedua suami istri ini sebagai tokoh sampingan yang berwatak protagonis.............
Pada saat Hamid berada di Mekah dia bertemu kembali dengan sahabat lamanya, Saleh.
Saleh sebagai tokoh sampingan, yang berwatak protagonis. “Saleh adalah seorang
teman saya semasa kami masih sama-sama bersekolah di Padang Panjang” (Hamka, 1989:48).
Ternyata Saleh telah menikah dengan sahabat Zainab, yaitu Rosna. Disini Rosna sebagai
tokoh sampingan yang berwatak protagonis.“ingatkah engkau akan Rosna, sahabat
karib Zainab?” (Hamka, 1989:49).
Latar atau setting adalah
keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana dalam suatu cerita. Unsur latar
dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, waktu, dan
suasana. Latar tempat adalah latar yang mengacu pada “lokasi” terjadinya
peristiwa yang diceritakan. Latar tempat pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, yaitu di Mekah “Sekarang sudah Tuan lihat, saya telah ada di
sini, di bawah lindungan Ka’bah yang suci.” (Hamka, 1989:46). Di atas sutuh “Pada suatu malam, sedang ia duduk
seorang dirinya di atas sutuh, diatas
sebuah bangku yang berhamparkan daun kurma yang berjalin...” (Hamka, 1989:9). Di
Pekarangan sekolah, “Setelah guru membagikan diploma kami masing-masing, dengan
bersorak kami meninggalkan pekarangan sekolah” (Hamka, 1989:22). Padang Panjang
“Saya tidak berapa bulan setelah tamat sekolah, berangkat ke Padang Panjang, mlanjutkan
cita-cita ibu saya karena kedermawanan Engku Haji Ja’far juga.” (Hamka,
1989:23). Rumah Hamid, yaitu ketika perbincangan Hamid dan ibunya, saat ibunya
sakit sakit. “Kerap kali Zainab dan ibunya datang melihat ibuku dan duduk di
dekat kalang hulunya, sedang saya duduk menjaga dengan diam dan sabar” (Hamka,
1989.......). Di pesisir Arau “... diwaktu saya sedang berjalan-jalan seorang
diri di pesisir Arau yang indah itu, melihat perahu tumpangan datang dari
seberang, diatasnya duduk tiga orang yang perempuan yang berundung-undung kain
bugis halus”. (Hamka, 1989:35). Di rumah Zainab, “Saya datang ke rumah itu, rumah
tempat saya bersunda gurau dengan Zainab di waktu kecil” (Hamka, 1989:36).
Latar waktu adalah latar yang berhubungan dengan “kapan” terjadinya
suatu peristiwa yang diceritakan. Latar waktu pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah pada saat malam hari, siang, sore,
dan sebagainya. Latar suasana adalah latar yang mengacu pada keadaan di suatu
peristiwa atau lingkungan. Suasana pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah bahagia, sedih, sepi, ramai, dan
sebagainya.
Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi atau penempatan
diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa
yang terdapat di dalam ceritanya. Sudut pandang terbagi dua, yaitu (1) sudut
pandang persona ketiga “Dia”. Sudut pandang ini juga terbagi dua. Pertama, sudut pandang “Dia” mana tahu, maksudnya narator bebas
menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita. Kedua, “Dia” terbatas, hanya terbatas pada
seorang tokoh saja. (2) sudut pandang persona pertama “Aku”. Sudut pandang ini
juga terbagi dua, yaitu “Aku” sebagai tokoh utama dan “Aku” sebagai tambahan,
yaitu hanya sebagai pengantar dan penutup cerita saja.
Sudut pandang novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah sudut pandang persona pertama, yaitu “Aku” sebagai
tokoh tambahan yang hanya sebagai pengantar dan penutup cerita saja. Pada novel
tersebut, tokoh “Aku” bercerita tentang sahabatnya yang ia kagumi, yaitu Hamid.
Namun setelah Hamid bertemu dengan sahabatnya bernama Saleh, keadaan dan
sifatnya berubah. Dia lebih sering termenung sendiri. Pada suatu ketika “Aku”
menanyakan perihal sahabatnya itu, dan kemudian dia pun mulai bercerita tentang
masa lalunya. Kemuadian diakhir cerita tokoh “Aku” kembali muncul, sebagai
penutup cerita yaitu pada saat Hamid telah mengetahui perasaan Zainab, hingga
akhirnya ia meninggal di depan Ka’bah setelah mengetahui Zainab telah
mendahuluinya.
Gaya bahasa atau majas adalah bahasa berkias yang dapat menghidupkan,
meningkatkan efek tertentu dan kadang menimbulkan konotasi tertentu. Pada novel
Di Bawah Lindungan Ka’bah gaya bahasa
yang dominan dipakai adalah metafora, hiperbola, dan personifikasi. Metafora,
yaitu perbandingan suatu benda dengan benda lain karena memiliki sifat yang
sama. Pada novel terdapat pada halaman 23 “Yang berasa sedih amat, adalah
anak-anak perempuan yang akan masuk pingitan, tamat sekolah bagi mereka artinya
satu sangkar yang telah tersedia buat seekor burung yang bebas terbang”. “Merapi
dengan kepundannya yang laksana disepuhi emas, panas petang yang menyinari
puncak Tandikat”. Pada halaman 31 “Emas tak setara dengan loyang, sutra tak
sebangsa dengan benang”. Pada halaman 26 “Karena dia langit dan saya ini bumi”.
Halaman 33 “Air mata anakanda yang selama ini telah banyak tercurah, tidak
bagai air yang tenggelam di pasir”. Halaman 56 “Ia laksana setetes embun yang
turun dari langit, bersih dan suci”. Halaman 58 “Saya hidup laksana seorang
buangan yang tersisih pada suatu padang belantara yang jauh, laksana seorang
bersalah besar dibuang kepulau, ditimpa haus dan dahaga” (Hamka:1989).
Hiperbola, yaitu majas yang berisi pernyataan yang belebih-lebihan
atau membesar-besarkan. Dalam novel Di
Bawah Lindungan Ka’bah terdapat pada halaman 41 “Karam rasanya bumi ini
saya pijakkan, gelap tujuan yang akan saya tempuh”. Pada halaman 18 “Mendengar
perkataan itu, terlompatlah air mata ibuku karena suka cita”. Halaman 38
“Darahku berdebar, detik-detik jantungku berhenti.” Halaman 42 “Diperjalanan
pulang saya rasakan badan saya sebagai bayang-bayang, tanah serasa bergoyang
saya pijakkan.” (Hamka:1989).
Personifikasi, yaitu menggambarkan sifat benda yang tak bernyawa
seolah-olah sama dengan manusia, berbuat seperti manusia. Dalam novel terdapat
pada halaman 23 “Waktu matahari akan pulang ke barat dan mempertaruhkan jabatan
memberi cahaya kepada bulan”. Halaman 36 “Rumah itu seakan-akan kehilangan
semangat, dan memang kehilangan semangat,” Halaman 63 “Hanya kepada bulan
purnama di malam hari adinda bisikkan dan pesankan kerinduan adinda hendak
bertemu. (Hamka, 1989: 23, 36, 63).
Tema
berarti pikiran sentral, inti pembahasan, gagasan pokok, ide utama, pengalaman
batin yang diekspresikan ke dalam karya. Oleh sebab
itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan
penokohan dan latar. Tema novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah adalah kisah cinta seorang pemuda yang tak tersampaikan
karena tehalang oleh status sosial.
Amanat adalah pesan, kesan, arahan, dan maksud yang hendak
disampaikan dari isi karya sastra dengan tujuan untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia. Amanat pada novel Di Bawah Lindungan Ka’bah yaitu mengajarkan
kita untuk selalu bersabar, bertawakal dan berserah diri pada Allah SWT. Jangan
mudah berputus asa, berusahalah mengungkapkan perasaan sendiri agar kelak tidak
mengalami penyesalan. Saling membatu dengan sesama, terutama kepada fakir
miskin.
Unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah diantaranya: Pertama, unsur agama (religius)
yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Esa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya. Agama yang dimaksud disini adalah agama Islam.
Dalam novel ini secara jelas diceritakan tentang tokohnya yang beragama Islam. Dari
judulnya saja “Di Bawah Lindungan Ka’bah” kita sudah tahu bahwa novel ini
mengandung unsur agama Islam, karena Ka’bah adalah tempat kiblat umat Islam
sedunia dan tempat melakukan ibadah haji ataupun umrah. Tujuan tokoh ke Mekah
merupakan penyempurnaan dari rukun Islam yang ke 5. Pada saat tokoh mengalami
kesulitan, dalam keadaan sedih, bahagia, dia selalu berserah diri dan ingat pada
Allah SWT. Sampai pada akhirnya dia meniggal dengan menyebut nama Allah. Selain
itu latar pada novel juga menunjukkan tempat-tempat umat islam, seperti di Mekah,
Masjidil Haram, Mina, Padang Arafah, dan sebagainya. Nama para tokoh dalam novel
ini juga mencirikan orang Islam, seperti Saleh, Hamid, dan Haji Ja’far.
Kedua, budaya yaitu hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat, yang telah menjadi pedoman tingkah lakunya. Unsur
budaya pada novel ini yaitu budaya Minang. Pada novel ini diceritakan bahwa
setelah tamat sekolah anak perempuan di Minang akan masuk pingitan. Hal ini
merupakan adat istiadat yang berlaku di Minang. Anak perempuan dilarang keluar,
karena perempuan adalah Limpapeh rumah nan
gadang. “...sebagai kau tahu, kita pun tamat dari sekolah, maka adat
istiadat telah mendidingi pertemuan kita dengan laki-laki yang bukan mahram,
bukan saudara atau famili karib, waktu itulah saya merasai kesepian yang sangat”
(Hamka, 1989:35). Dalam novel ini juga diceritakan bahwa Zainab disuruh menikah
dengan kemenakan ayahnya. Pada zaman dulu, di Minang Kabau berlaku sistem perjodohan.
Jodoh tidak dapat ditentukan sendiri.
Ketiga, sosial yaitu berkenaan dengan masyarakat. Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah hal utama
penyebab muncul permasalahan adalah karena perbedaan status sosial. Di dalam
novel ini diceritakan bahwa orang masih memandang perbedaan status sosial. Hamid
dari orang yang tidak berada, mencintai Zainab, anak saudagar kaya. Perbedaan
tesebut membuat Hamid memendam perasaannya. Dia takut cintanya takkan tebalas,
karena menurutnya dia hanyalah loyang sedangkan Zainab emas. Dia bumi sedangkan
Zainab langit (Hamka, 1989:31). Seperti itulah perbedaan status sosial mereka.
Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah merupakan karya sastra klasik yang ditulis
oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan HAMKA. Novel
ini diterbitkan tahun 1938 oleh Balai Pustaka, penerbit nasional Hindia-Belanda.
Novel ini disambut baik
dari berbagai kalangan, bahkan hingga saat ini telah diadaptasikan menjadi
film. Novel ini menceritakan tentang kisah percintaan antara Hamid dan Zainab,
yang sama-sama jatuh cinta tetapi terpisah karena latar belakang sosial yang
berbeda. Hamid tidak berani mengungkapkan perasaannya lantaran dia takut cintanya
takkan terbalas karena dia hanyalah seorang yang tidak berada. Disamping itu, Zainab
pun dihadapkan oleh permintaan ibunya agar menikah dengan laki-laki yang telah
dipilihkan. Kekecewaan Hamid dalam menghadapi
permasalahannya yang merasa cintanya tak akan mungkin tebalas membuat dia
mengambil kebijakan untuk pergi jauh meninggalkan Padang. Hamid pun pergi ke
Mekah, berlindung di bawah Ka’bah.
Setelah setahun
berada di Mekah, Hamid yang mulai menderita penyakit bertemu dengan Saleh.
Istri Saleh, Rosna adalah teman dekat Zainab sehingga Hamid dapat mendengar
kabar tentang Zainab, termasuk kenyataan bahwa Zainab mencintai dirinya dan
Zainab tidak jadi menikah dengan laki-laki pilihan ibunya. Namun pada saat
menjalani ibadah haji, Hamid meninggal di depan Kak’bah, setelah mengetahui
Zainab meninggal.
Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah ditulis dalam bentuk singkat dengan gaya bahasa yang
sederhana. Gaya penceritaannya bersifat didaktis, yang bertujuan untuk mendidik
pembaca berdasarkan sudut pandang penulis. Dari segi isinya, novel ini ditulis
dengan menarik. Dalam novel ini Hamka lebih mengedepankan ajaran tentang
dasar-dasar Islam dibanding menyinggung tema kemodernan. Agama Islam tidak
memandang perbedaan, tetapi disini Hamka memunculkan adanya perbedaan status
sosial, yang tentunya bertentagan dengan agama Islam. Namun, disinilah titik
puncak permasalahannya. Pendapat yang bertentangan dengan Islam inilah yang
membuat isi novel ini menarik. Secara tidak langsung dalam novel ini Hamka
berusaha mengungkapkan bahwa kita sebagai manusia tidak boleh memandang
perbedaan. Kisah cerita yang sedih-sedih dan penuh pengharapan
ini kemudian disandarkan pada agama, yaitu agama Islam. Memang demikianlah umat
muslim sebenarnya. Harus selalu bertawakal dan berserah diri pada Allah SWT. Perilaku
demikian ditunjukkan oleh tokoh utama, yaitu Hamid. Setiap ujian dan cobaan
yang datang selalu dia hadapi dengan sabar. Hal ini dapat mengajarkan umat
muslim agar selalu bertawakal kepada-Nya.
Diawal cerita, saat Hamid masih berumur
4 tahun dia telah membantu pekerjaan ibunya, termasuk berjualan kue. Dalam
menjalankan pekerjaan itulah dalam hati Hamid selalu memohon belas kasihan dan
berdo’a pada Allah. “ Ibu pun menunjukkan kepadaku beberapa do’a dan bacaan,
yang menjadi wirid dari almarhum Ayah semasa mendiang hidup, mengharapkan pengharapan
yang besar-besar kepada Tuhan serwa sekalian alam memohon belas kasihannya.”
(Hamka, 1989:13). Hal ini mengajarkan kita agar selalu berusaha, tidak mudah
menyerah pada keadaan.
Kemudian Hamid bertemu dengan Haji
Ja’far, seorang dermawan kaya yang sudi membiayai sekolahnya sampai keperguruan
tinggi agama di Padang Panjang. Haji Ja’far bahkan sudah menganggap Hamid
seperti anaknya sendiri. Disini juga terkandung nilai agama yaitu dalam
kehidupan kita harus saling membantu, terutama membantu orang yang tidak mampu
(fakir miskin). Sampai pada saat kepulangannya
dari Padang Panjang, Ia dihadapkan dengan berbagai musibah dan masalah. Mulai
dari meninggalnya Haji Ja’far yang disusul oleh ibunya, dan kemudian perasaan
cintanya yang dirasa tak mungkin terbalas lantaran perbedaan status sosial.
Disamping itu, Zainab juga akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ibunya. Saat
itu Hamid berusaha tabah dan sabar menghadapi segala cobaan. Dia pun mengambil
kebijakan agar dapat melupakan segala masalahnya itu. Dia meninggalkan Padang
dan tinggal di Mekah. Di Mekah dia selalu beribadah, mendekatkan diri pada
Allah. Hal ini mengajarkan kita, agar selalu tabah dan sabar dalam menghadapi
cobaan hidup, serta senantiasa mendekatkan diri pada Allah.
Pada saat datang ke rumah Mak Adiah,
Hamid disuruh membujuk Zainab agar Zainab mau dikawinkan dengan kemenakan
ayahnya, namun Hamid tak berhasil membujuknya. Kejadian itu membuat Hamid
merasa kecewa dan menginsafi dirinya sendiri, bahwa di dunia mesti ada sebagian
orang yang bahagia, sebagian lagi ada orang yang menanggung kesediahan. Di sini
Hamka memaparkan cerita yang sesuai dengan kodrat kekuasaan Tuhan, bahwa di
dunia ini adalah tempat manusia menghadapi cobaan, baik dalam hidup bahagia
maupun dalam hidup susah semuanya itu adalah ujian dari Allah.
Tokoh Hamid yang hidupnya selalu
menderita karena dia bukan orang yang berada, serta penderitaan batinnya karena
penyakit cinta yang dia alami membuatnya hampir berputus asa. Namun, dia selalu
berpikir positif berusaha bersabar dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Penderitaan
tokoh “Hamid” yang selalu dihadapi dengan ketabahan tersebut, dapat memberi
pelajaran yang penting bagi pembaca. Novel ini banyak mengajarkan tentang
hal-hal yang bersifat positif. Pembaca dapat terdorong untuk selalu bertawakal,
dalam susah maupun senang. Selain itu novel ini juga bisa dijadikan sebagai
renungan bagi pembaca, terutama bagi remaja yang tentunya juga akan merasakan
perasaan suka terhadap lawan jenis. Setidaknya jika pembaca mengalami masalah
yang sama seperti diceritakan di novel, mereka sudah tahu bagaimana memilih
jalan hidup yang baik bila suatu saat mereka menemui masalah semacam itu.
Namun, pengarang dalam menceritakan tokohnya
kurang menampakkan bentuk pisiknya. Penampilan bentuk pisik hanya terbatas pada
tokoh utama “Hamid”. Pengarang menceritakan tokoh Hamid sebagai seorang
pendiam, yang suka bermenung seorang diri, badannya kurus lampai, rambutnya
hitam berminyak. Hal tersebut sesuai dengan kondisi tokoh utama dalam cerita,
sebagai seorang yang hidupnya kurang beruntung, dan mengalami gagal dalam
memenuhi cintanya. Tokoh-tokoh lainnya, seperti Zainab tidak digambarkan secara
jelas, sehingga pembaca tidak bisa membayangkan seperti apa kecantikannya.
Selain itu, bahasa pada novel ini masih menggunakan bahasa Melayu yang sulit untuk
dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. 2007. Sastra
Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.
Hamka. 1989. Di
Bawah Lindungan Ka’bah. Bandung: Bulan Bintang.
Muhardi dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: IKIP Padang Press.
Ramadansyah. 2010.
Paham dan Terampil Berbahasa dan Bersastra Indonesia. Padang: Angkasa
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar