Minggu, 06 Januari 2013

Perpustakaan yang tidak memadai


Padang – Mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat kembali mengeluh. Mereka selalu kesulitan untuk memperoleh buku-buku yang dibutuhkan, lantaran perpustakaan di kampus ini tidak memadai. Tugas-tugas yang diberikan dosen kadang terasa berat bagi mereka, karena kesulitan untuk mencari buku sumber.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang mahasiswa STKIP PGRI pada kamis (20/9), mereka mengaku kecewa dengan fasilitas yang disediakan di kampus ini. “failitas perpustakaan di kampus ini sangat kurang, terutama buku. Kadang untuk memperoleh buku yang dibutuhkan, kami harus meminjam ke perpustakaan kampus lain. Ujar Devriani, mahasiswa STIKIP PGRI, jurusan Bahasa nggris, BP 2012/D.

Pernyataan yang sama juga di lontarkan oleh mahasiswa lainnya. Di perpustakaan ini tidak hanya buku-buku yang kurang, ruangan yang sempit, meja-meja belajar yang tidak mencukupi, serta pelayanan petugas yang kurang baik, membuat mahasiswa tidak nyaman saat berkunjung dan belajar di perpustakaan ini.
“pelayanan petugas perpustakaan ini juga kurang baik, tidak ramah kepada pengunjung, dan mereka suka bicara ceplas ceplos”. Ujar Noni Fazria, mahasiswa jurusan Geografi, BP 2010/D.
Lain halnya dengan Meza Rahmadani, menurut mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia BP 2011/C ini pelayanan petugas diperpustakaan ini sudah baik, karena mereka sudah menjalankan aturan, walaupun masih ada beberapa aturan yang sulit diterima.
Aturan yang berlaku seperti membawa kartu pustaka, meletakkan tas pada tempatnya, meminjam buku maksimal dua dalam satu minggu, jika pengembalian buku telat akan didenda. Bagi sebagian mahasiswa aturan ini tidak terlalu berat, namun sebagian ada yang mengatakan peraturan ini terlalu berat.
 “peraturannya terlalu ketat, karena meminjam buku hanya dua untuk satu minggu, sehingga buku-buku yang dibutuhkan tidak selalu bisa dipinjam” tambah Devriani.
Saat ini para mahasiswa hanya bisa berharap agar yayasan dapat melengkapi fasilitas perpustakaan. Tempat dan ruangan diperluas, meja-meja dan buku-buku dilengkapi lagi, agar mereka tidak meminjam di kampus lain lagi. Selain itu, juga menyediakan ruang baca yang memadai, agar mahasiswa tidak lagi terganggu saat belajar.

KELUH KESAH PARA PETANI COKELAT




Tanaman cokelat  merupakan salah satu kekayaan alam yang terhampar luas di Tanah Air. Bagi para petani Indonesia, tanaman ini sudah seperti curahan rezeki yang dapat menghidupi keluarga mereka. Tanaman yang berasal dari daerah Amerika bagian tropik ini masuk wilayah Indonesia sekitar tahun 1560, dibawa oleh para pedagang dari Portugis melalui pulau Sulawesi dan selajutnya menyebar ke daerah kepulauan di sekitar Minahasa. Perkembangan tanaman cokelat ini sangat cepat menyebar ke seluruh kepulauan di Indonesia termasuk pulau Jawa. Perkembangan tersebut dipicu karena semakin meningkatnya kebutuhan akan tanaman jenis itu, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor.
Semenjak Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri cokelat pada tahun 1975, para petani Indonesia banyak menggantungkan hidup mereka pada tanaman ini. Namun sejak beberapa bulan belakangan, para petani cokelat di Indonesia mengeluh, karena anjloknya harga coklat. Seperti dikutip pada harian Singgalang Rabu, 4 Januari 2012 ”Para petani di Kabupaten Lima Puluh Kota mengeluh, menyusul terus anjloknya harga cokelat sejak beberapa bulan belakangan. Harga semula bertahan pada kisaran Rp23 ribu sampai Rp25 ribu/kg, kini hanya dihargai toke Rp15 ribu pada setiap kilogramnya”.
Menurunnya harga cokelat menghantarkan para petani pada gerbang kesulitan. Usaha yang dilakukan terasa tidak setimpal dengan hasil yang mereka peroleh karena tanaman cokelat ini membutuhkan perawatan kusus, seperti proses pembibitan. Selain itu masuknya cahaya matahari juga perlu diperhatikan. Cahaya matahari yang langsung mengenai tanaman dengan intensitas tinggi akan menyebabkan lilit batang kecil, daun sempit dan tanaman relatif pendek sehingga tanaman akan menjadi kurang produktif. Selain itu Tanaman ini juga memerlukan curah hujan yang cukup dengan distribusi yang merata.
Berbagai keluh kesah dilontarkan oleh para petani cokelat. Seringkali benak mereka dipenuhi tanda tanya, bagaimana kelak nasib istri dan anak mereka bila harga cokelat tetap menurun. Begitu pula dengan Al, pria berumur 50 tahun yang menggantungkan hidup keluarganya dari tanaman cokelat. Dimulai semenjak raja siang mulai menyingsing di ufuk timur hingga kembali bersembunyi ke ufuk barat, Al bersama istri membanting tulang mengurus kebun cokelatnya yang tidak jauh dari rumah mereka. Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesabaran Ia jalani pekerjaan tersebut demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Peluh keringat yang mengalir deras membasahi wajahnya, tidak menyurutkan semangat ayah dari 4 anak ini. Sedikit demi sedikit uang hasil penjualan cokelat tersebut Ia tabung untuk membiayai hidup keluarganya dan juga biaya sekolah anak-anaknya. Kesadaran akan sebuah pendidikan membuat petani cokelat yang berasal dari Sawah Lunto ini banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sekolah keempat anaknya yang dirasakannya memang sangat berat.
Hidup sebagai petani cokelat memang tak semudah yang dibayangkan, apalagi sekarang tanaman ini banyak diserang penyakit busuk buah, selain itu harga pupuk yang relatif mahal dan sulit didapatkan membuat para petani cokelat nyaris tidak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga mereka. Saat ini mereka hanya bisa berharap agar pemerintah bisa peduli terhadap mereka. “Tanaman cokelat saya jika dipanen hasilnya hanya beberapa kilogram saja ditambah lagi dengan harganya yang murah, jagankan untuk biaya sekolah anak saya, untuk makan sehari-hari saja kadang tidak mencukupi”. Tutur Al.
Petani cokelat lainnya, Mini (40) juga merasakan hal yang sama. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk merawat tanaman cokelatnya. Kebunnya memang tidak terlalu luas, tetapi dulu usaha itu dapat memberikan hasil yang cukup untuk membiayai hidup keluarganya. Lain halnya dengan harga cokelat saat ini, petani yang juga berasal dari Sawah Lunto ini merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, dia merasa sudah tak mampu lagi merawat tanaman cokelatnnya itu, karena usaha yang dilakukan tidak setimpal dengan hasil yang didapatkan. Tetapi apa hendak dikata, Mini tidak punya pekerjaan lain.
“Dulu hasil penjualan biji cokelat ini senantiasa bisa mengisi celengan, namun dengan harga saat ini membuat kami kurang bergairah, apalagi tanaman saat ini banyak diserang hama dan penyakit.” keluh Mini. Saat ini ibu dari 3 orang anak ini haya tetap berusaha agar kebutuhan keluarganya tetap terpenuhi, walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.