Tanaman
cokelat merupakan salah satu kekayaan
alam yang terhampar luas di Tanah Air. Bagi para petani Indonesia, tanaman ini
sudah seperti curahan rezeki yang dapat menghidupi keluarga mereka. Tanaman
yang berasal dari daerah Amerika bagian tropik ini masuk wilayah Indonesia
sekitar tahun 1560, dibawa oleh para pedagang dari Portugis melalui pulau
Sulawesi dan selajutnya menyebar ke daerah kepulauan di sekitar Minahasa.
Perkembangan tanaman cokelat ini sangat cepat menyebar ke seluruh kepulauan di
Indonesia termasuk pulau Jawa. Perkembangan tersebut dipicu karena semakin
meningkatnya kebutuhan akan tanaman jenis itu, baik untuk konsumsi dalam negeri
maupun ekspor.
Semenjak
Pemerintah Indonesia mulai menaruh perhatian dan mendukung industri cokelat
pada tahun 1975, para petani Indonesia banyak menggantungkan hidup mereka pada
tanaman ini. Namun sejak beberapa bulan belakangan, para petani cokelat di
Indonesia mengeluh, karena anjloknya harga coklat. Seperti dikutip pada harian
Singgalang Rabu, 4 Januari 2012 ”Para petani di Kabupaten Lima Puluh Kota
mengeluh, menyusul terus anjloknya harga cokelat sejak beberapa bulan
belakangan. Harga semula bertahan pada kisaran Rp23 ribu sampai Rp25 ribu/kg,
kini hanya dihargai toke Rp15 ribu pada setiap kilogramnya”.
Menurunnya harga
cokelat menghantarkan para petani pada gerbang kesulitan. Usaha yang dilakukan
terasa tidak setimpal dengan hasil yang mereka peroleh karena tanaman cokelat
ini membutuhkan perawatan kusus, seperti proses pembibitan. Selain itu masuknya
cahaya matahari juga perlu diperhatikan. Cahaya matahari yang langsung mengenai
tanaman dengan intensitas tinggi akan menyebabkan lilit batang kecil, daun
sempit dan tanaman relatif pendek sehingga tanaman akan menjadi kurang
produktif. Selain itu Tanaman ini juga memerlukan curah hujan yang cukup dengan
distribusi yang merata.
Berbagai keluh
kesah dilontarkan oleh para petani cokelat. Seringkali benak mereka dipenuhi
tanda tanya, bagaimana kelak nasib istri dan anak mereka bila harga cokelat
tetap menurun. Begitu pula dengan Al, pria berumur 50 tahun yang menggantungkan
hidup keluarganya dari tanaman cokelat. Dimulai semenjak raja siang mulai menyingsing
di ufuk timur hingga kembali bersembunyi ke ufuk barat, Al bersama istri
membanting tulang mengurus kebun cokelatnya yang tidak jauh dari rumah mereka.
Dengan semangat yang tinggi dan penuh kesabaran Ia jalani pekerjaan tersebut
demi memenuhi kebutuhan keluarganya.
Peluh keringat
yang mengalir deras membasahi wajahnya, tidak menyurutkan semangat ayah dari 4
anak ini. Sedikit demi sedikit uang hasil penjualan cokelat tersebut Ia tabung
untuk membiayai hidup keluarganya dan juga biaya sekolah anak-anaknya. Kesadaran
akan sebuah pendidikan membuat petani cokelat yang berasal dari Sawah Lunto ini
banting tulang untuk mencukupi kebutuhan sekolah keempat anaknya yang
dirasakannya memang sangat berat.
Hidup sebagai
petani cokelat memang tak semudah yang dibayangkan, apalagi sekarang tanaman
ini banyak diserang penyakit busuk buah, selain itu harga pupuk yang relatif
mahal dan sulit didapatkan membuat para petani cokelat nyaris tidak mampu lagi
menutupi kebutuhan keluarga mereka. Saat ini mereka hanya bisa berharap agar pemerintah
bisa peduli terhadap mereka. “Tanaman cokelat saya jika dipanen hasilnya hanya
beberapa kilogram saja ditambah lagi dengan harganya yang murah, jagankan untuk
biaya sekolah anak saya, untuk makan sehari-hari saja kadang tidak mencukupi”.
Tutur Al.
Petani cokelat
lainnya, Mini (40) juga merasakan hal yang sama. Setiap hari waktunya
dihabiskan untuk merawat tanaman cokelatnya. Kebunnya memang tidak terlalu
luas, tetapi dulu usaha itu dapat memberikan hasil yang cukup untuk membiayai
hidup keluarganya. Lain halnya dengan harga cokelat saat ini, petani yang juga
berasal dari Sawah Lunto ini merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya. Bahkan, dia merasa sudah tak mampu lagi merawat tanaman
cokelatnnya itu, karena usaha yang dilakukan tidak setimpal dengan hasil yang
didapatkan. Tetapi apa hendak dikata, Mini tidak punya pekerjaan lain.
“Dulu hasil
penjualan biji cokelat ini senantiasa bisa mengisi celengan, namun dengan harga
saat ini membuat kami kurang bergairah, apalagi tanaman saat ini banyak
diserang hama dan penyakit.” keluh Mini. Saat ini ibu dari 3 orang anak ini
haya tetap berusaha agar kebutuhan keluarganya tetap terpenuhi, walaupun
hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.